“Philanthropreneurship” Akses Pengentasan Kemiskinan melalui ZISWAF
Oleh Farhan Zuhri
Baihaqi
Ketua Lembaga Amil Zakat
Infaq dan Shadaqah
Muhammadiyah(Lazismu) Kota Lhokseumawe
Akhir-akhir ini tergolong sudah mulai menjamur Lembaga sosial
nirlaba yang mencoba mewarnai Aceh untuk pengentasan kemiskinan baik lembaga
yang bersifat Nasional maupun Lembaga
lokal. Lebih spesifiik lembaga yang mengelola dana Zakat Infaq maupun Shadaqah (
ZIS) dan sudah terdaftar sebelumnya.
Dari pemanfaatan dana umat tersebut, masih belum ada
perubahan drastis terkait dengan status fakir/miskin yang menerima dana ZIS
tersebut. Pergerakan lembaga-lembaga yang mengelola dana ZIS semisal Baitul Mal
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) serta Badan Amil Zakat (BAZ) masih belum telalu
inovatif dan produktif.
Perlu ada sebuah solusi terkait pemanfaatan dana umat ini
yang diamanahkan kepada Baitul Mal, LAZ maupun BAZ untuk lebih inovaif dan produktif
serta tepat sasaran, salah satunya ada pola “Philanthropreneurship”.
Philanthropreneurship
sendiri berasal dari kata Philantropy
dan Entrepreneurship yang mempunyai makna secara bahasa: Kedermawanan dan Jiwa
Kewirausahaan. Sedangkan secara Istilah
Philanthropreneurship kira-kira mempunyai makna Pemberdayaan yang
berwawasan kewirausahaan terhadap para
Mustahik (Penerima Manfaat).
Pada
dasarnya, Filantopi telah lama dikenal dan dipraktekkan oleh setiap etnik
budaya dan komunitas keagamaan di pelbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Bahkan world Giving Index 2018 yang dipublikasikan oleh Gallup yang mensurvey
140 negara di seluruh dunia menunjukkan, Indonesia adalah negara yang paling
dermawan di dunia mengalahkan Australia, New Zealand dan Amerika Serikat yang
berada di urutan selanjutnya.
Payton,
salah seorang Profesor di bidang studi filantropik, telah mengkonstruksi suatu
defenisi operasional (working defenition) dari filantropi sebagai ”voluntary action for the public good”
yang bermakna Tindakan Kerelawanan untuk kemaslahatan Publik.
Filantropi
sendiri dikenal dengan 2 Bentuk seperti yang disampaikan oleh Chusnan Jusuf
(salah satu staf pengajar di Univeristas Muhammadiyah Jakarta) dalam Jurnalnya
yang berjudul FILANTROPI MODERN UNTUK
PEMBANGUNAN SOSIAL menyebutkan 2 bentuk Filantopi tersebut yaitu Filantropi
Tradisional dan Filantropi Modern. Filantropi Tradisional adalah Filantropi
yang berbasis Karitas (Charity) atau
belas kasihan yang pada umumnya berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial seperti
pemberian para dermawan kepada kaum
miskin untuk membantu kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal,
dan lain-lain.
Dengan
demikian, bila dilihat dari orientasinya maka
Filantropi Tradisional lebih bersifat Individual. Dengan orientasi
seperti ini, dalam batas tertentu para dermawan seringkali justru didorong oleh
maksud untuk memelihara dan
menaikkan status dan prestise mereka di mata
publik. Model Karitas seperti ini
justru mempertebal relasi kuasa si kaya
terhadap si miskin. Dalam konteks makro
Filantropi Tradisional hanya mampu mengobati penyakit kemiskinan, akibat dari
ketidakadilan struktur.
Berbeda dengan
Filantropi Tradisional, Filantropi Modern yang lazim disebut Filantropi
untuk Pembangunan Sosial dan Keadilan Sosial merupakan bentuk kedermawanan
sosial yang dimaksudkan untuk menjembatani jurang antara si kaya
dengan si miskin. Jembatan
tersebut diwujudkan dalam upaya
mobilisasi sumber daya untuk mendukung kegiatan yang menggugat
ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab kemiskinan dan ketidakadilan.
Saat
ini praktif Filantropi sudah mulai ramai di aplikasikan secara berkala terhadap
person atau golongan kaum lemah dalam penurunan angka kesmiskinan. Selain itu, Lembaga Filantropi islam sebagai
eksekutor (Amil) dana Zakat Infaq
Shadaqah (ZIS) juga terus melakukan Riset yang bertujuan untuk pemanfaatan dana
ZIS yang lebih berdaya guna.
Dan
pola Philanthropreneurship adalah salah satu solusi cerdas untuk Pencapaian
beberapa agenda Pembangunan Berkelanjutan atau sering disitilahkan dengan SDGs
(sustainable development goals). SDGs sendiri merupakan agenda besar dunia
dalam membangun seluruh aspek baik dari pengentasan kemiskinan hingga Industri,
Inovasi dan Infastruktur.
Pandangan Islam Terhadap
Philanthropreneurship
Islam
adalah agama yang mudah serta tidak memberatkan para penganutnya, termasuk
dibidang ekonomi. Jika ada perintah dan larangan termakhtub dalam dalil jelas
harus di ikuti dan jika tidak tertera dalam dalil perlu adanya proses ijtihad
untuk menentukan sikap selanjutnya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam telah memberikan contoh sebagaimana dalam hadist
Anas bin Malik yang diriwayatkan Tirmidzi bahwa ketika ada seorang Anshor yang
meminta-minta beliau tidak langsung memberikan kepadanya uang tunai, tetapi
mengajarkan kepadanya bagaimana berusaha dan bekerja, sehingga dalam waktu
singkat orang tersebut menjadi mandiri dan tidak meminta-minta lagi.
Selain
itu, ada keputusan Majma al-Fiqh al-Islamy OKI, pada pertemuannya yang ketiga
di Amman Kerajaan Jordan, juga menyebutkan secara prinsip boleh menginvestasikan
dana zakat untuk kemaslahatan orang-orang yang berhak mendapatkan zakat
(Mustahik) apabila kebutuhan pokok para mustahik terpenuhi terlebih dahulu.
Keputusan
tersebut dikuatkan pada an-Nadwah ats-Tsalitsah li Qadhaya az-Zakat
al-Mu’ashirah di Kuwait pada tahun 1992 M.
Integrasi Philantropy dan
Entrepreneurship
Hilman
Latief P.hD, Ketua Lazismu Pusat dalam artikelnya menjelang Rakernas Lazismu
menyampaikan “Inovasi Sosial berbasis Filantropi, tampaknya sudah tidak bisa
lagi menunggu terlalu lama untuk di integrasikan dengan perspektif bisnis. Kita
yakin, akan ada banyak hal yang secara konsep perlu dibahas dan menuntuk
keberanian lembaga filantropi Islam dalam berinovasi untuk memasuki bisnis
sosial”.
Nah,
untuk itu amil sebagai penggerak Filantropi Islam perlu terus berbenah diri
seperti peningkatan kapasitas, dalam hal ini kemampuan skill dan wawasan juga
dibutuhkan untuk dapat meangplikasikan konsep Kewirausahaan berbasis filantopi,
sehingga nantinya amil lembaga filantropi Islam akan mudah menelurkan jiwa
Entrepreneur kepada para mustahik.
Ini
tak luput dari banyak fakta dilapangan terkait pemanfaatan dana Zakat Infaq
Shadaqah (ZIS) yang hanya di gunakan
secara konsumtif (tradisional) untuk seseorang bisa bertahan hidup dari
kelaparan beberapa hari saja kemudian kembali seperti semula. Sedangkan pola
Produktif (Modern) yang bersifat Entrepreneur setidaknya bisa memberikan jangka
lebih panjang serta mendorong mustahik lebih dinamis dan inovatif bahkan bisa
meningkatkan status dari mustahik (Penerima manfaat) menjadi Muzakki (Pemberi).
Dalam
praktiknya, lembaga filantropi Islam
melalui amilnya terus mendorong para mustahik mendapatkan akses sejenis Seminar/Pelatihan yang bertujuan pemenuhan
akal dan skill terkait kegiatan bisnis yang nantinya akan ditekuni serta
menumbuhkan jiwa Entrepreneur. Mustahiq juga harus memahami bahwasanya Dalam
Islam setiap muslim dituntu untuk berusaha dengan keras agar dapat meraih
rezeki yang dititipkan oleh Allah Subhanahu Wataala.
Setelah
mendapatkan akses Seminar/Pelatihan, kemudian meraka mendapatkan akses bantuan
berupa Modal usaha baik berupa uang maupun barang. Tak cukup sampai disitu,
hubungan Amil dan mustahik terus terjalin sebagai bentuk controling terhadap
usaha yang ditekuni masing-masing mustahik agar usaha yang mereka tekuni terus
produktif dan inovatif serta tidak statis dan kalah saing yang ujung-ujungnya
membuat mereka harus gulung tikar.
Maka
kita dapat mengambil sebuah kesimpulan sederhana bahwasanya dana zakat infaq
shadaqah serta wakaf dapat menyejahterakan ummat melalui lembaga filantropi
Islam yang mendorong para penerima manfaat (Mustahik) untuk menjadi
wirausahawan melalui support Anggaran, perlengkapan usaha, seminar/pelatihan
hingga pengawasan. Nah !
Fastabiqul Khairat
Komentar
Posting Komentar